Syabab.Com - Sesungguhnya sistem pemerintahan Islam
(Khilafah) berbeda dengan seluruh bentuk pemerintahan yang dikenal di
seluruh dunia; baik dari segi asas yang mendasarinya; dari segi
pemikiran, pemahaman, maqâyîs (standar), dan hukum-hukumnya
untuk mengatur berbagai urusan; dari segi konstitusi dan
undang-undangnya yang dilegislasi untuk diimplementasikan dan
diterapkan; ataupun dari segi bentuknya yang mencerminkan Daulah Islam
sekaligus yang membedakannya dari semua bentuk pemerintahan yang ada di
dunia ini.Hal ini karena:
Sistem pemerintahan Islam bukan sistem kerajaan.
Islam tidak mengakui sistem kerajaan. Sistem pemerintahan Islam juga
tidak menyerupai sistem kerajaan. Hal itu karena dalam sistem kerajaan,
seorang anak (putra mahkota) menjadi raja karena pewarisan; umat tidak
ada hubungannya dengan pengangkatan raja. Adapun dalam sistem Khilafah
tidak ada pewarisan. Akan tetapi, baiat dari umatlah yang menjadi metode untuk mengangkat khalifah.
Sistem
kerajaan juga memberikan keistimewaan dan hak-hak khusus kepada raja
yang tidak dimiliki oleh seorang pun dari individu rakyat. Hal itu
menjadikan raja berada di atas undang-undang dan menjadikannya simbol
bagi rakyat, yakni ia menjabat sebagai raja tetapi tidak memerintah,
seperti yang ada dalam beberapa sistem kerajaan; atau ia menduduki
jabatan raja sekaligus memerintah untuk mengatur negeri dan penduduknya
sesuai dengan keinginan dan kehendak hawa nafsunya, sebagaimana yang
ada dalam beberapa sistem kerajaan yang lain. Raja tetap tidak tersentuh
hukum meskipun ia berbuat buruk atau zalim. Sebaliknya, dalam sistem
Khilafah, Khalifah tidak diberi kekhususan dengan keistimewaan yang
menjadikannya berada di atas rakyat sebagaimana seorang raja. Khalifah
juga tidak diberi kekhususan dengan hak-hak khusus yang
mengistimewakannya—di hadapan pengadilan—dari individu-individu umat.
Khalifah
juga bukanlah simbol umat dalam pengertian seperti raja dalam sistem
kerajaan. Akan tetapi, Khalifah merupakan wakil umat dalam menjalankan
pemerintahan dan kekuasaan. Ia dipilih dan dibaiat oleh umat untuk
menerapkan hukum-hukum syariah atas mereka. Khalifah terikat dengan
hukum-hukum syariah dalam seluruh tindakan, kebijakan, keputusan hukum,
serta pengaturannya atas urusan-urusan dan kemaslahatan umat
Sistem pemerintahan Islam juga bukan merupakan sistem imperium (kekaisaran).
Sebab, sesungguhnya sistem imperium itu sangat jauh dari Islam.
Berbagai wilayah yang diperintah oleh Islam—meskipun penduduknya
berbeda-beda suku dan warna kulitnya, yang semuanya kembali ke satu
pusat—tidak diperintah dengan sistem imperium, tetapi dengan sistem yang
bertentangan dengan sistem imperium. Sebab, sistem imperium tidak
menyamakan pemerintahan di antara suku-suku di wilayah-wilayah dalam
imperium. Akan tetapi, sistem imperium memberikan keistimewaan kepada
pemerintahan pusat imperium; baik dalam hal pemerintahan, harta, maupun
perekonomian.
Metode Islam dalam memerintah adalah menyamakan
seluruh orang yang diperintah di seluruh wilayah negara. Islam menolak
berbagai sentimen primordial (‘ashbiyât al-jinsiyyah). Islam
memberikan berbagai hak pelayanan dan kewajiban-kewajiban kepada
non-Muslim yang memiliki kewarganegaraan sesuai dengan hukum syariah.
Mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kaum Muslim secara
adil. Bahkan lebih dari itu, Islam tidak menetapkan bagi seorang pun di
antara rakyat di hadapan pengadilan—apapun mazhabnya—sejumlah hak
istimewa yang tidak diberikan kepada orang lain, meskipun ia seorang
Muslim. Sistem pemerintahan Islam, dengan adanya kesetaraan ini, jelas
berbeda dari imperium.
Dengan sistem demikian, Islam tidak
menjadikan berbagai wilayah kekuasaan dalam negara sebagai wilayah
jajahan, bukan sebagai wilayah yang dieksploitasi, dan bukan pula
sebagai “tambang” yang dikuras untuk kepentingan pusat saja. Akan
tetapi, Islam menjadikan semua wilayah kekuasaan negara sebagai
satu-kesatuan meskipun jaraknya saling berjauhan dan penduduknya
berbeda-beda suku. Semua wilayah dianggap sebagai bagian integral dari
tubuh negara. Seluruh penduduk wilayah memiliki hak seperti penduduk
pusat atau wilayah lainnya. Islam menetapkan kekuasaan, sistem, dan
peraturan pemerintahan adalah satu untuk semua wilayah.
Sistem pemerintahan Islam bukan sistem federasi.
Dalam sistem federasi, wilayah-wilayah negara terpisah satu sama lain
dengan memiliki kemerdekaan sendiri, dan mereka dipersatukan dalam
masalah pemerintahan (hukum) yang bersifat umum. Sistem pemerintahan
Islam adalah sistem kesatuan. Dalam sistem pemerintahan Islam, Marokes
di barat dan Khurasan di timur dinilai sebagaimana Propinsi al-Fiyum
jika ibukota negaranya di Kairo. Keuangan seluruh wilayah (propinsi)
dianggap sebagai satu-kesatuan dan APBN-nya juga satu, yang dibelanjakan
untuk kemaslahatan seluruh rakyat tanpa memandang propinsinya.
Seandainya suatu propinsi pemasukannya tidak mencukupi kebutuhannya,
maka propinsi itu dibiayai sesuai dengan kebutuhannya, bukan menurut
pemasukannya. Seandainya pemasukan suatu propinsi tidak mencukupi
kebutuhannya maka hal itu tidak diperhatikan, tetapi akan dikeluarkan
biaya dari APBN sesuai dengan kebutuhan propinsi itu, baik pemasukannya
mencukupi kebutuhannya ataupun tidak.
Sistem pemerintahan Islam bukan sistem republik.
Sistem republik pertama kali tumbuh sebagai reaksi praktis terhadap
penindasan sistem kerajaan (monarki). Sebabnya, raja memiliki kedaulatan
dan kekuasaan sehingga ia memerintah dan bertindak atas negeri dan
penduduk sesuai dengan kehendak dan keinginannya. Rajalah yang
menetapkan undang-undang menurut keinginannya. Lalu datanglah sistem
republik, kemudian kedaulatan dan kekuasaan dipindahkan kepada rakyat
dalam apa yang disebut dengan demokrasi. Rakyatlah yang kemudian membuat
undang-undang; yang menetapkan halal dan haram, terpuji dan tercela.
Lalu pemerintahan berada di tangan presiden dan para menterinya dalam
sistem republik presidentil dan di tangan kabinet dalam sistem republik
parlementer. (Contohnya—menyangkut pemerintahan di tangan kabinet—ada
di dalam sistem monarki yang kekuasaan pemerintahannya dicabut dari
tangan raja; ia hanya menjadi simbol: ia menjabat raja, tetapi tidak
memerintah).
Adapun dalam Islam, kewenangan untuk melakukan
legislasi (menetapkan hukum) tidak di tangan rakyat, tetapi ada pada
Allah. Tidak seorang pun selain Allah dibenarkan menentukan halal dan
haram. Dalam Islam, menjadikan kewenangan untuk membuat hukum berada di
tangan manusia merupakan kejahatan besar. Allah SWT berfirman:
Mereka telah menjadikan para pembesar mereka dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah. (QS at-Taubah [9]: 31).
Ketika
turun ayat di atas, Rasulullah saw. menjelaskan bahwa sesungguhnya
para pembesar dan para rahib telah membuat hukum, karena mereka telah
menetapkan status halal dan haram bagi masyarakat, lalu mayarakat
menaati mereka. Sikap demikian dianggap sama dengan menjadikan para
pembesar dan para rahib itu sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Demikian
sebagaimana dijelaskan Rasulullah saw. ketika menjelaskan maksud ayat
tersebut. Penjelasan Rasul mengenai maksud ayat tersebut menunjukkan
betapa besarnya kejahatan orang yang menetapkan halal dan haram selain
Allah. Imam at-Tirmidzi telah mengeluarkan hadis dari jalan Adi bin
Hatim yang berkata:
Aku pernah datang kepada Nabi saw., sementara di leherku bergantung salib yang terbuat dari emas. Nabi saw. lalu bersabda, “Wahai Adi, campakkan berhala itu dari tubuhmu!” Aku lalu mendengar Beliau membaca al-Quran surat at-Taubah ayat 31 (yang artinya): Mereka menjadikan para pembesar dan para rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Nabi saw. kemudian bersabda, “Benar,
mereka tidak menyembah para pembesar dan para rahib itu. Akan tetapi,
ketika para pembesar dan para rahib itu menghalalkan sesuatu bagi
mereka, mereka pun menghalalkannya, dan jika para pembesar dan para
rahib itu mengharamkan sesuatu, mereka pun mengharamkannya.” (HR at-Tirmidzi).
Pemerintahan
dalam Islam juga tidak dengan metode kabinet, yang mana setiap
departemen memiliki kekuasaan, wewenang, dan anggaran yang terpisah satu
sama lain; ada yang lebih banyak dan ada yang lebih sedikit.
Keuntungan satu departemen tidak akan ditransfer ke departemen lain
kecuali dengan mekanisme yang panjang. Hal ini mengakibatkan banyaknya
hambatan untuk mengatasi berbagai kepentingan rakyat, karena banyaknya
intervensi dari beberapa departemen hanya untuk mengurus satu
kemaslahatan rakyat saja. Padahal seharusnya berbagai kemaslahatan
rakyat itu dapat ditangani oleh satu struktur administrasi saja.
Dalam
sistem republik, pemerintahan didistribusikan di antara departemen
yang disatukan dalam kabinet yang memegang kekuasaan secara kolektif.
Dalam Islam tidak terdapat departemen yang memiliki kekuasaan
pemerintahan secara keseluruhan (menurut bentuk demokrasi). Akan
tetapi, Khalifah dibaiat oleh umat untuk memerintah mereka menurut
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Khalifah berhak menunjuk para mu‘âwin (wazîr tafwîdh)
untuk membantunya mengemban tanggung jawab kekhilafahan. Mereka adalah
para wazîr—dalam makna bahasa—yaitu para pembantu (mu‘âwin) Khalifah
dalam masalah-masalah yang ditentukan oleh Khalifah.
Sistem pemerintahan Islam bukan sistem demokrasi
menurut pengertian hakiki demokrasi ini, baik dari segi bahwa
kekuasaan membuat hukum—menetapkan halal dan haram, terpuji dan
tercela—ada di tangan rakyat maupun dari segi tidak adanya keterikatan
dengan hukum-hukum syariah dengan dalih kebebasan. Orang-orang kafir
memahami betul bahwa kaum Muslim tidak akan pernah menerima demokrasi
dengan pengertiannya yang hakiki itu. Oleh karena itu, negara-negara
kafir penjajah (khususnya AS saat ini) berusaha memasarkan demokrasi di
negeri-negeri kaum Muslim. Mereka berupaya memasukkan demokrasi itu ke
tengah-tengah kaum Muslim melalui upaya penyesatan (tadhlîl), bahwa demokrasi merupakan alat untuk memilih penguasa.
Anda
bisa melihat, mereka mampu menghancurkan perasaan kaum Muslim dengan
seruan demokrasi itu, dengan memfokuskan pada seruan demokrasi sebagai
pemilihan penguasa. Tujuannya adalah untuk memberikan gambaran yang
menyesatkan kepada kaum Muslim, yakni seakan-akan perkara yang paling
mendasar dalam demokrasi adalah pemilihan penguasa. Karena
negeri-negeri kaum Muslim saat ini sedang ditimpa penindasan, kezaliman,
pembungkaman, dan tindakan represif penguasa diktator, baik mereka
berada dalam sistem yang disebut kerajaan ataupun republlik; sekali lagi
kami katakan, karena negeri-negeri Islam mengalami semua kesengsaraan
tersebut maka kaum kafir dengan mudah memasarkan demokrasi di
negeri-negeri kaum Muslim sebagai aktivitas memilih penguasa.
Mereka
berupaya menutupi dan melipat bagian mendasar dari demokrasi itu
sendiri, yaitu tindakan menjadikan kewenangan membuat hukum serta
menetapkan halal dan haram berada di tangan manusia, bukan di tangan
Tuhan manusia. Bahkan sebagian aktivis Islam, termasuk di antaranya
adalah para syaikh (guru besar), mengambil tipuan itu; baik dengan niat
yang baik maupun buruk. Jika Anda bertanya kepada mereka tentang
demokrasi, mereka menjawab bahwa demokrasi hukumnya boleh dengan
anggapan, demokrasi adalah memilih penguasa. Adapun mereka yang memiliki
niat buruk berupaya menutupi, melipat, dan menjauhkan pengertian
hakiki demokrasi sebagaimana yang ditetapkan oleh penggagas demokrasi
itu sendiri.
Menurut mereka, demokrasi bermakna: kedaulatan ada
di tangan rakyat—yang berwenang membuat hukum sesuai dengan kehendak
mereka berdasarkan suara mayoritas, menghalalkan dan mengharamkan, serta
menetapkan status terpuji dan tercela; individu memiliki kebebasan
dalam segala perilakunya—bebas berbuat apa saja sesuai dengan
kehendaknya, bebas meminum khamr, berzina, murtad, serta mencela dan
mencaci hal-hal yang disucikan dengan dalih demokrasi dan kebebasan
individual. Inilah hakikat demokrasi. Inilah realita, makna, dan
pengertian demokrasi. Lalu bagaimana bisa seorang Muslim yang mengimani
Islam mengatakan bahwa demokrasi hukumnya boleh atau bahwa demokrasi
itu berasal dari Islam?
Adapun masalah umat memilih penguasa atau
memilih Khalifah, hal itu merupakan perkara yang telah dinyatakan di
dalam nash-nash syariah. Kedaulatan di dalam Islam ada di tangan
syariah. Akan tetapi, baiat dari rakyat kepada Khalifah merupakan syarat
mendasar agar seseorang menjadi khalifah. Sungguh, pemilihan Khalifah
telah dilaksanakan secara praktis di dalam Islam pada saat seluruh
dunia masih hidup di bawah kegelapan, kediktatoran, dan kezaliman para
raja.
Siapa yang mendalami tatacara pemilihan Khulafaur
Rasyidin—Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali
bin Abi Thalib; semoga Allah meridhai mereka—maka ia akan dapat melihat
dengan jelas bagaimana dulu telah sempurnanya pembaiatan kepada para
khalifah itu oleh ahl al-halli wa al-‘aqdi dan para wakil kaum Muslim.
Dengan
baiat itu, masing-masing dari mereka menjadi khalifah yang ditaati
oleh kaum Muslim. Abdurrahman bin Auf, yang kala itu telah diangkat
menjadi wakil atas sepengetahuan pendapat mereka yang menjadi
representasi kaum Muslim (mereka adalah penduduk Madinah), telah
berkeliling di tengah-tengah mereka; ia bertanya kapada si anu dan si
anu, mendatangi rumah ini dan itu, serta menanyai laki-laki dan
perempuan untuk melihat siapa di antara para calon khalifah yang ada,
yang mereka pilih untuk menduduki jabatan khalifah. Pada akhirnya,
pendapat orang-orang mantap ditujukan kepada Utsman bin Affan, lalu
dilangsungkanlah baiat secara sempurna kepadanya.
Ringkasnya,
sesungguhnya demokrasi adalah sistem kufur; bukan karena demokrasi
mengatakan tentang pemilihan penguasa, dan hal itu juga bukan menjadi
masalah mendasar, tetapi karena perkara mendasar dalam demokrasi adalah
menjadikan kewenangan untuk membuat hukum berada di tangan manusia,
bukan pada Allah, Tuhan alam semesta. Padahal Allah SWT berfirman:
Menetapkan hukum itu hanyalah milik Allah. (QS Yusuf [10]: 40).
Demi
Tuhanmu, mereka hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu
hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak
merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan,
dan mereka menerimanya dengan sepenuhnya. (QS an-Nisa’ [4]: 65).
Terdapat
banyak dalil (selain ayat-ayat di atas, ed.) yang saling mendukung,
yang sudah diketahui bersama, yang menyatakan bahwa kewenangan
menetapkan hukum adalah milik Allah SWT.
Apalagi demokrasi juga
menetapkan kebebasan pribadi (personal freedom), yang menjadikan
laki-laki dan perempuan bebas melakukan apa saja yang mereka inginkan
tanpa memperhatikan halal dan haram. Demokrasi juga menetapkan kebebasan
beragama (freedom of religion), di antaranya berupa kebebasan
untuk murtad dan gonta-ganti agama tanpa ikatan. Demokrasi juga
menetapkan kebebasan kepemilikan (freedom of ownership), yang
menjadikan pihak yang kuat mengeksploitasi pihak yang lemah dengan
berbagai sarana sehingga yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin
miskin.
Demokrasi pun menetapkan kebebasan berpendapat (freedom of opinion),
bukan kebebasan dalam mengatakan yang haq, tetapi kebebasan dalam
mengatakan hal-hal yang menentang berbagai kesucian yang ada di
tengah-tengah umat. Bahkan mereka menganggap orang-orang yang berani
menyerang Islam di bawah slogan kebebasan berpendapat sebagai bagian
dari para pakar opini yang sering disebut sebagai para pahlawan.
Atas
dasar ini, sistem pemerintahan Islam (Khilafah) bukan sistem kerajaan,
bukan imperium, bukan federasi, bukan republik, dan bukan pula sistem
demokrasi sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya. [Sumber:
Strutkur Daulah Khilafah/syabab.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar